Jumat, 03 Desember 2010

Penyusunan Teks Proklamasi Indonesia


Penyusunan Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dilakukan melalui perundingan antara golongan muda dan golongan tua, yang mana perundingan ini berlangsung mulai pukul 02.00 – 04.00 dini hari. Tempat penulisan Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ini dilakukan di ruang makan laksamana Tadashi Maeda jalan Imam Bonjol no. 1. Konsep Teks Proklamasi itu sendiri dibuat oleh Ir. Soekarno. Dan di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni, dan Soediro. Sukarni menyusulkan agar yang menandatangani Teks Proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Dan yang mengetik Teks Proklamasi adalah Sayuti Melik.

Rabu, 01 Desember 2010

mantap,lugas dan berani....

Amerika, “Go To Hell With Your Aid”

Attention: open in a new window. PDFPrintE-mail
Foto/sumber:roso daras

Puncak kekesalan Bung Karno kepada Amerika Serikat, diteriakkan dalam kalimat yang sangat terkenal hingga hari ini, “Amerika… go to hell with your aid“. Kalimat yang diucapkan dengan menggelegar karena meregang amarah, tentu saja mengagetkan banyak pihak. Bukan saja karena Amerika adalah negeri super power dan Indonesia adalah negeri yang baru merdeka, lebih dari itu, pada hakikatnya, sebagai negara baru, Indonesia sejatinya masih membutuhkan bantuan negara lain.

Karenanya, dalam biografi yang dituturkan melalui Cindy Adams, ia memerlukan sedikitnya empat paragraf untuk menjelaskan sikap kerasnya kepada Amerika Serikat. Pertama-tama ia jelaskan arti kata “bantuan”. Ia ingatkan sekali lagi, yang dimaksud bantuan adalah bukan cuma-cuma, bukan hadiah dari seorang paman yang kaya raya kepada keponakanya yang melarat. “Bantuan” itu adalah suatu pinjaman dan harus dibayar kembali.

Sementara Amerika mengira seolah-olah Indonesia adalah ibarat orang melarat, kemudian mereka berkata, “Ambillah… ambillah saudara kami yang malang dan melarat… ambillah uang ini.” Sungguh suatu anggapan yang tidak betul. “Anggapan yang munafik!” pekik Bung Karno. Bantuan mereka, pada hakikatnya adalah utang yang harus dibayar kembali berikut segala bunganya.

Amerika menaruh perhatian kepada negara terbelakang seperti Indonesia ketika itu, karena dua alasan. Pertama, karena Indonesia merupakan pasar yang baik untuk barang-barang mereka. Kedua, mereka takut Indonesia menjadi komunis.

Manakala negara yang dibantu tidak “berkelakuan baik” sesuai kehendak mereka, dengan semena-mena lantas mengancam, “Kami tidak akan berikan lagi, kecuali jika engkau berkelakuan baik!” Tentang ini, sikap Presiden Filipina Manuel Quezon sama dengan Bung Karno. Quezon pernah mengatakan, “Lebih baik pergi ke neraka tanpa Amerika, daripada pergi ke surga bersama-sama dengan dia.”

Bung Karno menegaskan, Amerika Serikat tidak memberikan hadiah cuma-cuma kepada Indonesia. Sementara, Indonesia yang ingin berdiri di atas kaki sendiri, sejatinya tidak menginginkan bantuan cuma-cuma. Bahkan, Indonesia sangat berterima kasih atas semua bantuan yang telah Amerika ulurkan kepada bangsa Indonesia. “Kami sama sekali tidak meminta Amerika supaya memberi uang secara cuma-cuma. Kami sudah mengemis-ngemis selama hidup, dan kami takkan melakukannya lagi. Ada pertolongan lain yang dapat mereka berikan, yakni persahabatan.”


Dan, manakala para senator berpidato di muka umum tentang pencabutan bantuan kepada Indonesia. Pemerintah Amerika mengumumkan di koran-koran di seluruh dunia tentang pencabutan bantuan kepada Indonesia… ketika itu pula Bung Karno merasa Amerika Serikat bukanlah sahabat. Mereka tidak saja menampar muka Sukarno di muka umum, tetapi juga merendahkan Indonesia sebagai bangsa.

SEUNTAI KALIMAT CINTA BUNG KARNO PADA FATMAWATI

Attention: open in a new window. PDFPrintE-mail
Sumber/foto:roso daras

Inilah sekelumit kisah asmara Sukarno – Fatmawati. Begitu unik. Begitu mambara. Begitu dalam. Berikut ini adalah sepenggal kalimat cinta Bung Karno kepada Fatmawati, melalui sepucuk surat cintanya tertanggal 11 September 1941…

O, Fatma, jang menjinarkan tjahja. Terangilah selaloe djalan djiwakoe, soepaja sampai dibahagia raja. Dalam swarganya tjinta-kasihmoe….

Pertalian cinta terjadi saat Bung Karno diasingkan di Bengkulu. Ketika itu, tentu saja. Bung Karno sudah beristrikan Inggit Ganarsih, dan tidak dikaruniai putra. Tetapi, bukan Bung Karo kalau tidak berjiwa ksatria. Meski harus mengorbankan hubungan yang begitu baik, tetapi niat menyunting Fatma, toh tetap diutarakan juga kepada Inggit.

Sepulang dari pengasingan, Bung Karno selalu murung. Ia benar-benar dilabrak demam cinta. Anak angkatnya, Ratna Juami dan suaminya, Asmara Hadi, mengetahui bahwa Bung Karno sedang demam cinta, demam rindu kepada Fatmawati nun di Bengkulu sana. Ratna dan Asmara Hadi pula yang memohon-mohon kepada Inggit, agar merelakan Bung Karno menikahi Fatmawati.